Rupiah melemah tipis melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada pembukaan perdagangan Kamis (30/3/2023), setelah menguat cukuo tajam dalam dua hari, dan berada di dekat level psikologis Rp 15.000/US$. Rupiah juga berada di level terkuat sejak 6 Februari.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan di Rp 15.065/US$, melemah 0,03% di pasar spot.
Meski demikian, tidak menutup kemungkinan rupiah bisa berbalik menguat lagi pada hari ini melihat sentimen pelaku pasar yang membaik, serta ekspektasi bank sentral AS (The Fed) akan memangkas suku bunganya tahun ini. Bursa saham AS (Wall Street) yang menguat tajam Rabu waktu setempat, yang menunjukkan sentimen pelaku pasar sedang bagus-bagusnya.
Sebagai mata uang emerging market, rupiah akan diuntungkan kala sentimen pelaku pasar sedang bagus.
Kolapsnya Silicon Valley Bank (SVB) yang merembet ke dua bank di AS lainnya, bahkan membuat perbankan Eropa ikut gonjang-ganjing memberikan keuntungan bagi rupiah.
The Fed di bawah pimpinan Jerome Powell sebenarnya diprediksi akan kembali agresif menaikkan suku bunga acuannya pada pekan lalu. Nyatanya, akibat gonjang-ganjing sektor perbankan The Fed hanya menaikkan 25 basis poin menjadi 4,75% – 5%, dan membuka peluang untuk tidak lagi menaikkan suku bunga.
Sejak pengumuman pada Kamis (23/3/2023) dini hari waktu Indonesia itu, rupiah cenderung mengalami penguatan.
Aliran modal pun kembali masuk ke pasar obligasi Indonesia. Sebelum SVB kolaps pada 10 Maret lalu, sebenarnya terjadi capital outflow sepanjang hingga Rp 8 triliun sejak akhir Februari, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR).
Pada Februari, capital outflow juga tercatat sekitar Rp 7,6 triliun. Namun, arah angin berbalik sejak SVB kolaps, hingga 27 Maret terjadi inflow nyaris Rp 9 triliun. Dengan demikian, sepanjang bulan ini hingga Senin lalu, aliran modal berbalik masuk sekitar Rp 780 miliar.
Capital inflow yang cukup besar pasca kolapsnya SVB tersebut menjadi salah satu faktor yang menjaga kinerja rupiah.